Ibu Soetji dan Soemantri Koesoemoadinegoro
Foto Keluarga
Lokasi : Pavilliun Kabupaten Bojonegoro
Soetji Soemantri Koesoemoadinegoro
Trah Eyang Soemantri Koesoemoadinegoro ini bertujuan untuk menghidupkan kembali tali silaturahmi dan Laman ini berfungsi sebagai wadah untuk saling berbagi dalam bentuk Informasi, foto, Acara kegiatan dari Keluarga R.A.A Soetji dan R.A.A Soemantri Koesoemoadinegoro dan menjalin tali silaturahmi keluarga agar tidak kepaten obor. Semua Gambar yang ditemukan disini diyakini berada pada dokumen keluarga, kami tidak bermaksud melanggar hak intelektual, artistik, atau hak cipta yang sah.
Soetji Soemantri Koesoemoadinegoro
Raden Adipati Ario Soemantri Koesoemoadinegoro & R.A.A Soetji
Raden Adipati Ario Soemantri Koesoemoadinegoro dan Raden Ayu Soetji
Raden Adipati Ario Soemantri Koesoemoadinegoro adalah salah satu
Bupati Bojonegoro Periode 1916 - 1936. Dari pernikahan antara R.A.A
Soemantri Koesoemoadinegoro dan R.A Sutji ini, mereka di karuniai 12 orang anak
dan 1 meninggal sebelum dilahirkan, adapun susunan putera-putri adalah sebagai
berikut :
1. R.M Boediono
2. R.A Wimoerti Syarif Hgidayat
3. R.A Hariati Mohammad Satrio
4. R.A Siti Mirjati Soemakto
5. R.A Koesnaeni
6. R.M Boediardjo
7. R.A Mariani Siti Fatimah
8. Meninggal sebelum dilahirkan
9. R.A Retno Ambarwulan
10. R.A Koestantinah
11. R.A Djoewariyah Soekiyat
12. R.A Hariani Soedjito
Sejarah singkat kepempinan R. Adipati Aryo
Kusumoadinegoro (1916 – 1936)
(Bojonegoro)
- Munculnya gerakan Islam pertama
Pergerakan Nasional yang
muncul di daerah wilayah Bojonegoro adalah “Pergerakan Islam” yang namanya
“Serikat Islam”. Pada Tahun 1916 Serikat Islam meningkatkan perjuangan kea rah
Persatuan Bangsa Indonesia sebagai Satu Bangsa. Agama Islam mulai berkembang
dibumi Bojonegoro sejak masa Sultan Trenggono berkuasa atas daerah Demak.
Bojonegoro yang pada masa itu bernama Jipang adalah masuk wilayah Demak. Kyai
Hasyim inilah penyebar pertama Agama Islam untuk wilayah Jipang.
Masa kehidupan sejarah Indonesia kuno ditandai oleh
pengaruh kuat kebudayaan Hindu yang datang dari India sejak abad I yang
membedakan warna kehidupan sejarah Indonesia jaman Madya dan jaman Baru.
Sedangkan Bojonegoro masih dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sampai abad XVI
ketika runtuhnya kerajaan Majapahit, kekuasaan pindah ke Demak, Jawa Tengah.
Bojonegoro menjadi wilayah kerajaan Demak, sehingga sejarah Bojonegoro kuno
yang bercorak Hindu dengan fakta yang berupa penemuan-penemuan banyak benda
peninggalan sejarah asal jaman kuno di wilayah hukum Kabupaten Bojonegoro mulai
terbentuk. Slogan yang tertanam dalam tradisi masyarakat sejak masa Majapahit
"sepi ing pamrih, rame ing gawe" tetap dimiliki sampai sekarang.
Bojonegoro sebagai wilayah kerajaan Demak mempunyai loyalitas tinggi terhadap
raja dan kerajaan. Kemudian sehubungan dengan berkembangnya budaya baru yaitu
Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak dan terjadilah pergeseran nilai dan tata
masyarakat dari nilai lama Hindu ke nilai baru Islam tanpa disertai gejolak.
Raden Patah, Senopati Jumbun, Adipati Bintoro, diresmikan sebagai raja I awal
abad XVI dan sejak itu Bojonegoro menjadi wilayah kedaulatan Demak. Dalam
peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan membawa Bojonegoro masuk dalam
wilayah kerajaan Pajang dengan raja Raden Jaka Tinggkir Adipati Pajang pada
tahun 1568. Pangeran Benawa, putra Sultan Pajang, Adiwijaya merasa tidak mampu
untuk melawan Senopati yang telah merebut kekuasaan Pajang 1587. Maka Senopati
memboyong semua benda pusaka kraton Pajang ke Mataram, sehingga Bojonegoro
kembali bergeser menjadi wilayah kerajaan Mataram. Daerah Mataram yang telah
diserahkan Sunan Amangkurat kepada VOC berdasarkan perjanjian, adalah pantai
utara Pulau Jawa, sehingga merugikan Mataram. Perjanjian tahun 1677 merupakan
kekalahan politik berat bagi Mataram terhadap VOC. Oleh karena itu, status
kadipaten pun diubah menjadi kabupaten dengan wedana Bupati Mancanegara Wetan,
Mas Toemapel yang juga merangkap sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang
pada tanggal 20 Oktober 1677. Maka tanggal, bulan dan tahun tersebut ditetapkan
sebagai HARI JADI KABUPATEN BOJONEGORO. Pada tahun 1725 Susuhunan Pakubuwono II
naik tahta. Tahun itu juga Susuhunan memerintahkan agar Raden Tumenggung Haria
Mentahun I memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Jipang dari Padangan ke
Desa Rajekwesi. Lokasi Rajekwesi ± 10 Km di selatan kota Bojonegoro. Sebagai
kenangan pada keberhasilan leluhur yang meninggalkan nama harum bagi
Bojonegoro, tidak mengherankan kalau nama Rajekwesi tetap dikenang di dalam
hati rakyat Bojonegoro sampai sekarang.
Selanjutnya pewaris kepemimpinan ini di teruskan oleh R.M
Boediono sebagai anak laki-laki pertama dengan menjabat posisi Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah masa bakti 1945 - 1954, berbeda
wilayah dengan sang ayah tetapi tetap menjalankan amanah dan tugas yang
sama.
Sebagai anak laki-laki pertama dalam keluarga bangsawan feodal
Jawa jelas sekali R.M Boediono memanggul beban sangat besar.
Tanggung jawabnya untuk meneruskan tradisi kepemimpinan panggreh praja
setingkat bupati akan siap dipanggul di pundaknya pada saatnya nanti.
R.M Boediono menyadari kondisi keluarganya yang seperti itu. Malah ia
bersyukur sekali orang tuanya lebih memaksakan dirinya untuk menempuh
pendidikan kepamongprajaan Mosvia di Probolinggo meskipun pad awalnya ia tidak
bercita-cita di bidang itu. Aspek kepemimpinannya terlihat semenjak ia
anak-anak. Pola feodalisme dan patriarkhis dalam keluarganya membentuk tanggung
jawab yang besar untuk membawa nama keluarga R.A.A. Soemantri
Koesoemoadinegoro
Seperti layaknya pemuda terpelajar saat itu, R.M Boediono tidak
menghabiskan waktu sehari-hari untuk perbuatan yang sia-sia. Seluruh waktu
habis untuk kegiatan belajar bahasa dan kepamongprajaan.
Pendidikan AMS jurusan bahasa memudahkan ia untuk menguasai bahasa
asing seperti Belanda, Perancis dan Inggris. Oleh karena kepandaiannya ia
dengan cepat menamatkan pendidikan Mosvia itu. Tugas pertamanya adalah menjadi
pamong praja di Malang.
Saat itu Jawa masih dikuasai oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Kondisi pemerintahan di bawah penguasa Belanda ini tidak membawa persoalan yang
cukup berarti pada diri R.M Boediono. Profesionalisme selaku
anggota Pangreh praja dalam kerangka administrasi pemerintah Kolonial Belanda
terlihat sekali dalam penyelesaian tugas-tugas keseharian yang dibebankan
kepadanya. Karena prestasi-prestasinya itulah maka ia memperoleh kenaikan
pangkat yang tergolong cepat. Di samping itu, R.M Boediono yang
memiliki sikap suka menolong yang kesusahan ini sangat terkenal pada masa itu.
Sikap ini semakin menambah kecintaan rakyat pada dirinya ketika karir kepangreh
prajaannnya meningkat.
Dalam perkembangan berikutnya ketika pemerintah Kolonial Belanda
mengalami beragam kesulitan menghadapi persoalan elit pergerakan nasional
maka R.M Boediono juga bisa menempatkan posisinya dengan baik.
Selaku pamongpraja yang digaji pemerintah ia tetap melaksanakan tugasnya dengan
sebaik-baiknya tanpa tercecer, namun selaku orang yang terdidik dan memiliki
pergaulan luas dengan kaum pergerakan hatinya juga tersentuh dengan cita-cita
perjuangan bangsa yang mulai itu. Ia memilih jalan tengah. Ia aktif juga dalam
kegiatan organisasi kepemudaan yang legal formal demi cita-cita kemerdekaan
bangsa.
Oleh karena itu tulisan ini akan membahas secara tuntas bagaimana
latar belakang R.M Boediono ini. Mengapa pada awal kemerdekaan
Indonesia ia mendapat kepercayaan pemerintah pusat untuk mejadi Gubernur Jawa
Tengah? Bagaimana gaya kepmimpinan beliau dan faktor-faktor apa yang
menyebabkan ia memiliki gaya kepemimpinan yang seperti itu?
Kepemimpinan
Kepemimpinan
merupakan suatu kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi,
membimbing, dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mereka mau berbuat
ssuatu demi tercapainya tujuan bersama. Selain itu kepemimpinan merupakan
segenap bentuk bantuan yang diberikan oleh seseorang bagi penetapan dan
pencapaian tujuan kelompok. Dengan pendekatan manajemen bahwa kepemimpinan
mempunyai makna sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang
lain agar rela, mampu dan dapat mengikuti keinginan manajemen demi tercapainya
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan efisien, efektif, dan ekonomis.
R.M Boediono memasuki ELS Bojonegoro dan MULO di Surabaya. Setelah itu melanjutkan ke AMS Afdeling A di Bandung. Karena keaktifan dalam pergerakan nasional pemerintah Belanda menyampaikan teguran dan ancaman pada orang tua R.M Boediono agar supaya memberi pengawasan yang lebih ketat terhadap sepak terjang puteranya. Akhirnya R.M Boediono terpaksa meninggalkan bangku AMS bahasa Bandung dan meneruskan ke Mosvia Probolinggo dan melanjutkan pula setelah itu di Bestuur Academic Jakarta.
Dari perjalanan kehidupan R.M Boediono dari sikap perbuatan dan pemikirannya dapat dilihat beberapa kesimpulan yang penting. Pertama ia sebagai pribadi yang terlahir dari keluarga priyayi feodal masih tumbuh sikap pribadi yang moderat dan berwasawasan kerakyatan.
R.M Boediono memasuki ELS Bojonegoro dan MULO di Surabaya. Setelah itu melanjutkan ke AMS Afdeling A di Bandung. Karena keaktifan dalam pergerakan nasional pemerintah Belanda menyampaikan teguran dan ancaman pada orang tua R.M Boediono agar supaya memberi pengawasan yang lebih ketat terhadap sepak terjang puteranya. Akhirnya R.M Boediono terpaksa meninggalkan bangku AMS bahasa Bandung dan meneruskan ke Mosvia Probolinggo dan melanjutkan pula setelah itu di Bestuur Academic Jakarta.
Dari perjalanan kehidupan R.M Boediono dari sikap perbuatan dan pemikirannya dapat dilihat beberapa kesimpulan yang penting. Pertama ia sebagai pribadi yang terlahir dari keluarga priyayi feodal masih tumbuh sikap pribadi yang moderat dan berwasawasan kerakyatan.
Seorang pemimpin harus
memiliki pengaruh yang kuat di mata masyarakat. Ia mampu mempengaruhi
psikologis pribadi-pribadi lain untuk mengikuti apa yang diinginkannya demi
tujuan kelompok atau masyarakat yang bersangkutan. Seorang pemimpin mempunyai
ciri-ciri: cerdas, inisiatif, kekuatan, kematangan perasaan, daya cpta,
meyakinkan, kemahiran berkomunikasi, ketenangan diri, cerdik, dan berperan
serta dalam pergaulan. Bahwa seorang pemimpin dituntut memiliki: pertama, sifat
kepribadian: penyesuaian diri, sikap giat dan tegas, berpengaruh, keseimbangan
jiwa dan konrol, kebebasan, keaslian dan daya cipta, kejujuran pribadi, dan
percaya diri; kedua, kemampuan: kecerdasan, pertimbangan, dan kemampuan membuat
keputusan, pengetahuan, dan pandai bicara; ketiga, kemahiran sosial: kemampuan
memperoleh kerjasama, kemampuan adminsitrasi, mampu bekerja sama, terkenal dan
berwibawa, suka bergaul, peran serta sosial, dan kebijaksanaan dan
diplomasi.
Pendekatan Sifat, Perilaku dan Kontingensi
Pendekatan sifat dalam
kepemimpinan sering kali berbeda. menyampaiakan ciri-ciri pemimpin yang
seharusnya ada pada seorang pemimpin seperti: rajin, giat, keras hati, ambisi,
kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat,
banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan
diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.
Pendekatan perilaku
dilakukan untuk melihat sejauhmana perilaku menjadi karakter dan gaya
tersendiri dalam memimpin. Pendekatan perilaku yang digunakan tulisan ini untuk
melihat kepemimpinan R.M Boediono adalah yang membagi gaya
kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu eksploitative authoritative, benevolent
authoritative, concultative leadership, dan participative group leadership.
Dalam melihat kepemimpinan R.M Boediono agaknya
lebih condong untuk didekati dengan pendekatan perilaku gaya kepemimpinan
otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul
dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi
pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada
bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan
tugas.
Selain itu, untuk mengupas
kepemimpinan R.M Boediono maka akan digunakan pula pendekatan
kontingensi dengan model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt.
Menurut mereka ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin dalam
memilih gaya kepemimpinannya. Tiga faktor itu adalah kekuatan pemimpin,
kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. Model ini merupakan suatu garis yang
diawali dengan titik yang menunjukkan perilaku terpusat pada pemimpin dan
diakhiri dengan titik yang menunjukkan perilaku yang terpusat pada bawahan.
Latar Belakang Keluarga
Lingkungan kehidupan
keluarga R.M Boediono dilahirkan bersifat priyayi dan feodal.
Dalam kehidupan ini tercermin dari bentuk rumah tinggal, cara berpakaian, dan
tingkah laku dalam pergaulan. Meskipun demikian, R.M Boediono tetap
memiliki sifat berbudi halus, sopan, bahasa halus, serta ramah tamah.
Dalam kehidupan keluarga
tampak ada jarak antara anak dengan orang tua. Pengaruh sang Bapak ternyata
sangat dominan bagi pembentukan kepribadian R.M Boediono. Ia harus
belajar dengan baik agar bisa menggantikan posisi sang bapak pada saatnya
nanti.
Pendidikan
Masa Dewasa
Ketika masih bersekolah di
AMS A, R.M Boediono sangat aktif sebagai anggota Jong
Indonesia dan Nafsiah (calon istrinya) adalah anggotab Perhimpunan Putri
Indonesia. Sebagai seorang putera bupati ia berjiwa rendah hati dan selalu
bersikap baik terhadap sesamanya. Ia tidak senang apabila ada orang yang memperbincangkan
orang lain. Meskipun demikian ia dapat pula bersikap tegas dan disiplin. Sikap
ini diperoleh berkat pola asuh dan pendidikan yang diperoleh dari orang tuanya.
Demikian pula ketika R.M Boediono sudah
berkeluarga dan punya anak, ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan
orang tuanya pada dirinya.
Karir dalam Pamong Praja
Pada usia 25 tahun R.M
Boediono mulai menampakkan diri dalam masyarakat dengan bekerja
sebagai pamongpraja di Malang. Setelah itu ia diangkat sebagai asisten Inlandsch
Bestuursambtenaar di karesidenan Surabaya. Pada saat itu pula ia diberbantukan
sebagai Wedana Jobokuto.
Kurang lebih dua tahun kemudian R.M Boediono pindah
tugas sebagai A.I.B. Veld Politie di Kepanjen Malang. Dua tahun setelah itu ia
dpindahkan ke Probolinggo yakni sebagai A.I.B. Afd. M.P. pada Gewest Recherche
Probolinggo.
Tanggal 19 Pebruari 1935 ia
diangkat menjadi onderdistrikthoofd di daerah karesidenan Malang. Sebelas bulan
kemudian R.M Boediono diangkat sebagai Asisten Wedana
Onderdistrict Ngajum.
Tanggal 22 Maret 1937 R.M Boediono dipindahkan ke
onderdistrik Kraton. Tanggal 3 Agustus 1939 ia dipindahkan di onderdistrict
Pasuruan.
Untuk memenuhi kepentingan
dan urusan-urusan kedinasan seringkali ia meninjau daerah-daerah guna melihat
secara langsung segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas-tugasnya, sehingga
hubungan antara atasan dan bawahan dapat berjalan dengan baik dan sekaligus
tercipta kelancaran mekanisme kerja yang efisien dan efektif.
Salah satu
keistimewaan R.M Boediono sewaktu menjabat pamong praja adalah
taktik dan strateginya dalam menciptakan keamanan di daerahnya.
Masa Pendudukan Jepang
Pada saat pendudukan
Jepang R.M Boediono belum sempat menyelesaikan pendidikannya
di Bestuur Academie. Ia dikembalikan ke Jawa Timur dan ditempatkan d Kabupaten
Malang sebagai Sai Kyucho pada bulan April 1942. Pada bulan Agustus 1942 ia
dipindahkan lagi ke Patalan Probolinggo menjabat sebagai asisten Wedana.
Menyadari akan arti
perjuangan kemerdekaan tanah air, maka R.M. Boediono meskipun
secara formal bekerja pada Jepang akan tetapi sebagai seorang nasionalis ia
tetap berjuang menggalang kerjasama dengan rekan-rekan sewaktu masih kuliah di
Bandung di mana ia berteman dengan Sutan Syahrir yang sama-sama belajar di AMS.
Ide-ide nasionalisme banyak dipetik kala itu. Konspsi nasionalsme ini terus
dipupuk dan disalurkan melalui gerakan-gerakan bawah tanah pada waktu
pemerintahan bala tentara Jepang.
Pada bulan Juli 1945 R.M
Boediono dipindahtugaskan dari Kraksan ke Sukapura Proboloinggo. Ia
menjabat sebagai Wedana. Kenaikan jabatan ini merupakan prestasi kerja yang
istimewa.
Pengabdian di Jawa Tengah
Begitu mendengar berita
proklamasi jiwa R.M Boediono terpangil untuk mengabdi pada
Republik maka ia mengambil keputusan bahwa ia harus meninggalkan pekerjaan,
keluarga dan daerah tempat tinggalnya. Di Jakarta ia bergabung dengan
rekan-rekan seperjuangannya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Masa itu berarti mulailah ia
bergabung dengan Republik Indonesia yang baru berdiri. Ia mejadi orang
kepercayaan Sutan Syahrir. Apalagi pada saat masa revolusi yang masih kacau, ia
diberi kepercayaan untuk menjadi residen Banyumas sejak tanggal 17 Agustus
1946. Di sana ia ternyata pandai mengambil hati dan menempatkan diri diantara
bupati kawasan Banyumas yang pada umumnya mempunyai pengaruh kuat dalam
masyarakatnya. Sehingga dengan salah satu modal itu ia dapat melakukan
koordinasi yang baik untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan
perjuangan.
Ketika aksi agresi militer dan polisional Belanda, R.M
Boediono melakukan keputusan penting yang dapat menyelamatkan kondisi
pemerintahan karesidenan Banyumas. Ia mengkoordinir langsung aksi serangan
balik atas apa yang dilakukan Belanda di wilayahnya. Atas jasa dan
kecerdikannya maka peemrintah pusat mempercayakan wilayah karesidenan
Pekalongan untuk dipimpinnya juga.
Selama masa perjuangan itu
terutama di medan gerilya R.M Boediono dapat bekerjasama bahu
membahu dengan para pemimpin pejuang lannya baik dari tentara atau rakyat
biasa. Dengan sesama residen ia sering bertukar pikiran dan melakukan
koordinasi untuk menghadapi Belanda.
Menjadi Gubernur Jawa Tengah
Dari medan perang ia
dipanggil pemerintah pusat untuk mengemban tugas sebagai gubernur Jawa tengah.
Ia menggantikan posisi Mr. Wongsoneogoro.
Selama R.M Boediono menjabat
gubernur Jawa Tengah ada banyak hal yang sudah dilakukan. Dalam kurun waktu
antara 1949-1954 ia melakukan kebijakan :
a. Menyampaikan keinginan agar ada penetapan status hukum yang
pasti atas enam daerah karesidenan \ menjadi propinsi Jawa Tengah dan juga
pembentukan kabupaten otonom serta menetapkan status kota-kota tertentu mejadi
kota besar di Jawa Tengah.
b. Menetapkan pegawai urusan catatan sipil.
c. Pembentukan bagian tata hukum.
d. Kepegawaian.
e. Mengusulkan tunjangan bagi pegawai di daerah kacau.
f. Pengangkatan bekas pegawai swapraja.
g. Pembentukan seksi pensiun kantor Gubernur Jawa Tengah.
h. Penanganan masalah pegawai desa.
i. Pengangkatan pegawai kampung
j. Menyelenggarakan kursus cepat pamong desa.
k. Penanganan masalah keuangan.
l. Perbaikan dan pembangunan perumahan para kepala daerah dan
kantor-kantornya.
m. Sarana penunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
n. Mengadakan perkreditan desa.
o. Pembelian padi oleh pemerintah.
p. Pembentukan panitia pembangunan wilayah hutan dan pertanian.
q. Mengatasi masalah pengangguran.
r. Pengadaan sarana pengangkutan umum.
s. Pembersihan rawa pening
t. Penanggulan bahaya gunung merapi.
u. Upaya penghapusan desa perdikan.
v. Usaha pemberantasan buta huruf.
w. Demobilisasi.
Analisa Kepemimpinan Melalui Pendekatan Sifat
Latar belakang R.M
Boediono yang berasal dari kalangan priyayi, membuat ia memiliki sifat
yang sangat santun, rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja
sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya
khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada
cita-cita, susila, dan lapang dada.
Sifat-sifat di atas bisa terbentuk berkat pembudayaan yang berasal
dari keluarganya sendiri. Model kepriyayian dari Raden Ario Adipati Soemantri
Koesoemoadinegoro yang merupakan ayahanda R.M Boediono,
memang memberikan ruang belajar yang positip untuk mengembangkan kepribadian
yang positip pula. Tidak banyak golongan priyayi yang memiliki ciri khas dan
karakter seperti di atas. Umumnya kalangan feudal malah memberikan pendidikan
feudal bagi keluarga dan familinya.
Justru R.M Boediono mampu belajar dari lingkungan
yang memberikan kemanjaan dan penghormatan yang berlebihan. Masyarakat sekitar
yang notabene rakyat biasa memberikan penghormatan pada para bangsawan adalah
hal yang biasa saat itu. Namun, R.M Boediono akan menolak jika
rakyat memberikan sendiko dhawuh yang berlebihan sehingga merendahkan derajad
dan diri mereka. R.M Boediono tidak pernah menegakkan muka. Ia
tetap memandang sama terhadap masyarakat sekitarnya. Perasaan sombong tidak
pernah muncul sedikit pun.
Melalui Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku
dilakukan untuk melihat sejauhmana perilaku menjadi karakter dan gaya
tersendiri dalam memimpin. Pendekatan perilaku yang digunakan tulisan ini untuk
melihat kepemimpinan R.M Boediono yang membagi gaya
kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu eksploitative authoritative, benevolent
authoritative, concultative leadership, dan participative group leadership.
Dalam melihat
kepemimpinan R.M Boediono agaknya lebih condong untuk didekati
dengan pendekatan perilaku gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan
bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh
pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak
sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan
gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.
Aspek perilaku kepemimpinan R.M Boediono terlihat
manakala ia menyusun strategi dalam melakukan pengamanan lingkungan saat masih
menjabat wedana. Ia mengajak bawahannya untuk berunding bagaimana cara
menangkap aksi pencurian yang saat itu sedang banyak terjadi. Berkat komunikasi
dua arah antara atasan dan bawahan maka ia mampu melaksanakan konsep pengamanan
yang efektif di lingkungannya.
Di samping itu, ketika ia
menjabat menjadi residen di Banyumas, ia tidak melupakan peran serta para
bupati yang ada di kawasan Banyumas. Ia bertanya tentang suka duka, peluang,
usaha, dan tantangan dari para bupati bawahannya tersebut. Ia yang membuka
komunikasi dengan bupati-bupati itu sehingga mereka merasa diuwongke dan
dihargai keberadaannya. Atas sikap ini maka para bupati semakin loyal dan
menghormati R.M Boediono. Dan karena kedisplinan, ketegasan,
keramahan, dan sekaligus andhap ansor maka ia ditunjuk untuk merangkap menjadi
residen Pekalongan.
Jauh sebelum itu, ia rela
melepaskan jabatannya sebagai wedana ketika Indonesia modern baru berdiri. Ia
menyongsong kemerdekaan dengan ikut serta membantu para elit pergerakan
nasional untuk berdiplomasi dan berjuang di jalur militer. Hal ini
berarti R.M Boediono bergerak lagsung di masyarakat atas nama
perjuangan bangsa.
Melalui Pendekatan Kontingensi
Selain itu, untuk mengupas
kepemimpinan R.M Boediono maka akan digunakan pula pendekatan
kontingensi dengan model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt.
Menurut mereka ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin dalam
memilih gaya kepemimpinannya. Tiga faktor itu adalah kekuatan pemimpin,
kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi.
Sebagai seorang pemimpin
yang mempunyai kekuatan dalam hal ini kharisma, pengetahuan, dan berpendidikan
maka R.M Boediono mampu mengarahkan rakyat yang menjadi
bawahannya. Rakyat akan mengikuti kata pemimpin, jika pemimpinnya mempunyai
kekuatan yang terdapat di dalamnya. Kekharismatikan yang dimiliki R.M
Boediono dilator belakangi dirinya yang berasal dari kalangan priyayi.
Namun itu bukan satu faktor penentu, justru karena keaktifan R.M
Boediono di jalur perjuangan kebangsaan ini membuat namanya dikenal
baik oleh masyarakat dari berbagai kalangan.
Kekuatan bawahan saat itu begitu kagum dengan sosok
kepemimpinan R.M Boediono. Masyarakat yang masih bergelayut pada
suasan zaman revolusi kemerdekaan merasa terayomi dengan pemimpin mereka yang
bernama R.M Boediono ini. Mereka merasa nyaman dengan figure
da karakter sikap yang dimiliki oleh R.M Boediono.
Kekompakan antara atsan dan
bawahan tercipta oleh situasi da kondisi zaman yang mendukungnya. Masa
penjajahan dan revolusi membuat mereka bisa bersatu dalam suasana yang penuh
dengan kebersamaan. Mereka bahu-membahu menyerang lawan demi tegaknya
kemerdekaan bangsa.
Penutup
Dari sisi sifat ia memenuhi
kriteria sebagai pemimpin karena memiliki sifat seperti rajin, giat, keras
hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien,
cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain,
tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.
Dari sisi perilaku ia
mempunyai sikap atau gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa
sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin.
Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama,
perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan
keleluasannya untuk melaksanakan tugas.
Sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan dalam hal ini
kharisma, pengetahuan, dan berpendidikan maka R.M Boediono mampu
mengarahkan rakyat yang menjadi bawahannya. Rakyat akan mengikuti kata
pemimpin, jika pemimpinnya mempunyai kekuatan yang terdapat di dalamnya.
Kekharismatikan yang dimiliki R.M Boediono dilatarbelakangi
dirinya yang berasal dari kalangan priyayi. Namun itu bukan satu faktor
penentu, justru karena keaktifan R.M Boediono di jalur
perjuangan kebangsaan ini membuat namanya dikenal baik oleh masyarakat dari
berbagai kalangan.
Langganan:
Postingan (Atom)
Soetji Soemantri Koesoemoadinegoro
Ibu Soetji dan Soemantri Koesoemoadinegoro Foto Keluarga Lokasi : Pavilliun Kabupaten Bojonegoro #ssk #soemantribojonegoro #trah_sskbojone...
-
Raden Adipati Ario Soemantri Koesoemoadinegoro dan Raden Ayu Soetji Raden Adipati Ario Soemantri Koesoemoadinegoro adalah salah...
-
Ibu Soetji dan Soemantri Koesoemoadinegoro Foto Keluarga Lokasi : Pavilliun Kabupaten Bojonegoro #ssk #soemantribojonegoro #trah_sskbojone...
-
Ibu Soetji dan Soemantri Koesoemoadinegoro Lokasi : Pekarangan Depan Kabupaten Bojonegoro #ssk #soemantribojonegoro #trah_sskbojonegoro #...